LEGENDA KI AGENG MAKUKUHAN TEMANGGUNG
LEGENDA KI AGENG MAKUKUHAN,
ASAL TEMANGGUNG
Kisah lisan atau cerita legenda hingga kini terus dituturkan secara turun-temurun melalui pitutur dan tetap dilestarikan di desa-desa di penjuru Nusantara. Sepenggal kisah lisan di suatu daerah bahkan memuat berbagai macam versi namun tetap dipercayai karena mengandung nilai-nilai kebaikan bagi kehidupan warga yang meyakininya.
Sama seperti halnya kisah lisan tentang Ki Ageng Makukuhan, yang dipercayai oleh warga lereng gunung Sumbing sebagai penyebar agama Islam pertama di Desa Kedu, Temanggung. Ki Ageng Makukuhan merupakan anggota santri sanga dan dipercaya oleh banyak orang sebagai penerus Wali Sanga. Asal usulnya penuh misteri. Ada yang bilang beliau keturunan Cina, yang lain bilang dari Arab, dan lainnya lagi bilang beliau keturunan Jawa. Ada yang bilang jasadnya dimakamkan di Desa Kedu, Temanggung. Ada lagi yang menyakini dimakamkan di Plabengan, Dusun Cepit, Desa Pagergunung, Kecamatan Bulu, Temanggung.
Namun dari manapun asal usul Ki Ageng Makukuhan, warga lereng gunung Sumbing hingga kini tetap menyimpan keyakinan dalam kalbunya. Keyakinan yang kemudian berkembang di tengah masyarakat menjadi tradisi. Tradisi warisan leluhur warga Dusun di lereng Sumbing yang terus dilestarikan. Dan tradisi itu tidak ada yang berani melanggarnya hingga saat ini, seperti tradisi Ritual Among Tebal di Dusun Lamuklegok, Desa Legoksari, dan Dusun Dukuh, Desa Wonosari, serta Rejeban Plabengan di Dusun Cepit, Desa Pagergunung, Temanggung.
Tradisi Among Tebal adalah doa bersama sebelum tanam perdana tembakau. Dalam melakukan tradisi ini ratusan warga berkumpul di tanah lapang membawa uba rampe seperti tumpeng, ingkung ayam, dan beberapa nampan berisi buah-buahan dan jajan pasar. Semua ubarampe itu didoakan kemudian dilakukan kembul bujana atau makan bersama. Sambil menonton pentas kesenian tradisional dusun setempat. Tradisi Among Tebal tujuannya untuk meminta dimurahkan rejeki dan keberkahan bagi setiap warga.
Sedangkan tradisi Rejeban Plabengan merupakan tradisi syukuran semua warga Dusun Cepit, Desa Pagergunung, yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Rajab/Rejeb tiap hari jumat. Tradisi Rejeban Plabengan diawali dengan prosesi pengambilan air suci pada hari kamis di sumber mata air yang letaknya di lereng Sumbing. Kemudian malam harinya seluruh warga membawa obor menuju Plabengan, mengadakan tahlilan dan membaca salawat di makam Ki Ageng Makukuhan. Pada hari jumat pagi, ratusan warga memikul tenong berisi ayam ingkung, lauk pauk, dan pisang, mengiringi tumpeng berukuran besar. Mereka berjalan beriringan dipimpin Mbah Kaum dan Mbah Suyono sang kuncen Plabengan. Semua makanan di dalam tenong itu didoakan, lalu dimakan bersama sambil menonton kesenian tradisi setempat yakni jaran kepang. Tujuan Rejeban Plabengan adalah sebagai ungkapan rasa syukur dan memohon dimurahkan rejeki, perlindungan dan keberkahan bagi semua warga. Usai Rejeban Plabengan biasanya dimulainya masa tanam perdana tembakau.
Kisah Lisan Ki Ageng Makukuhan
Ki Ageng Makukuhan merupakan murid Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Lazimnya seorang murid yang sudah khatam menimba ilmu, Ki Ageng Makukuhan lantas mengembara, menolong orang, menyembuhkan orang yang sakit lumpuh, menyamar menjadi seorang petani guna melakukan syiar agama islam. Beliau oleh Sunan Kudus dibekali benih tanaman yang dia sendiri tidak tahu namanya. Pesan Sunan Kudus jelas; tanamlah benih ini di tanah yang menurut hatimu tepat untuk ditanami. Sepanjang pengembaraannya, Ki Ageng Makukuhan telah mengangkat beberapa murid atau santri yang ikut bersamanya.
Sesampainya di Desa Kemloko, yang letaknya berdekatan dengan Desa Legoksari di lereng Sumbing, benih itu ditebarkan lalu tumbuhlah tanaman yang subur berdaun lebar menghijau. Namun hingga tanaman itu tumbuh subur, Ki Ageng Makukuhan sendiri masih tidak tahu apa nama tanaman tersebut. Hingga suatu hari, Ki Ageng Makukuhan didatangi seseorang yang sedang merasa tidak enak badan, sakit. Secara naluriah Ki Ageng Makukuhan memetik daun yang ditanamnya, lalu dikibas-kibaskannya daun itu sambil bergumam; Iki tambaku, ini obat dariku. Ajaib! Beberapa saat kemudian orang yang sakit itu sembuh, sehat seperti sedia kala.
Gumaman Ki Ageng Makukuhan didengar oleh beberapa santrinya, lantas berita kesembuhan dari daun itu menyebar ke seantero lereng Sumbing dan sekitarnya. Secara lisan dari mulut ke mulut kata Tambaku menyebar menjadi kata Tembaku. Semakin banyak mulut yang mengabarkan dan semakin banyak pula telinga yang mendengarkan, kata Tembaku, berubah dengan sendirinya menjadi Tembakau.
Kisah lisan di atas begitu diyakini oleh warga Dusun Lamuklegok, Desa Legoksari, Temanggung. Karena kisah lisan itu telah dituturkan secara turun temurun dari generasi ke generasi oleh para orang-orang tua sejak dulu. Dusun Lamuklegok, merupakan penghasil tembakau srinthil kualitas baik. Kisah lisan warga Desa Legoksari itu kini bertebaran di laman-laman dunia maya, dan tentu saja bertabrakan dengan sumber sejarah yang bertebaran pula di dunia maya; catatan-catatan sejarah itu mengatakan tembakau pertama kali masuk ke Nusantara pada awal abad ke-17. Sumber sejarah itu ada yang mengatakan bangsa Portugislah yang membawa benih tembakau pertama kalinya ke Indonesia, ada lagi yang bilang bangsa Belanda, dan Spanyol. Nama tembakau di Indonesia memang kata serapan dari “Tabaco” yang berasal dari bahasa Spanyol. Tetapi tembakau tentu saja bukan berasal dari bangsa Spanyol.
Biyen sok dolan rono ki wong kedu
ReplyDelete